Tidur tanpa
memeluk guling?
Malam sarat
dengan kegelisahan. Tidurpun tak nyenyak.
Ugh! Bakalan
tersiksa sepanjang malam.
Hampir semua
orang yang kukenal selalu tidur sambil memeluk guling. Beberapa dari mereka
yang pindah ke luar negeri, tetap membawa guling dari Indonesia. Dan bahkan
beberapa teman buleku, membawa serta guling ke negara asal mereka.
Namun,
mungkin tak banyak yang mengetahui atau tak menyadarinya, kalau guling bukanlah
100% asli Indonesia.
Guling! Oh
Guling!
Yang dalam
bahasa Inggris disebut 'Dutch wife' atau 'istri Belanda'. Tidak percaya? Coba
lihat di en.wiktionary.org. Disitu
"istri Belanda" ini diartikan sebagai bantal panjang yang bisa
dipegang dan dipeluk ketika tidur.
Si 'istri'
yang satu ini tidak bisa protes, apalagi marah-marah kalau suami pulang malam.
Mendengkur? Tentu saja tidak bisa. Kentut apalagi. Namun, sosok 'istri' seperti
ini tidak sesuai dengan istri ideal versi Orde Baru, dengan jurus 3 M-nya,
yakni macak yang berarti
sosok berdandan agar suami "betah" dirumah, manak yang berarti sosok pelayan suami di
tempat tidur dan kudu bertanggungjawab untuk memberikan anak, dan sosok yang
harus pintar masak!
Kok bisa,
guling dibilang "istri Belanda"? Seperti kisah penjajahan pada
umumnya, para serdadu tidak membawa serta istri mereka ke tanah jajahan. Selain
berbahaya, tentu saja bikin nggak fokus bertugas di medan berbahaya. Nah,
daripada harus mencari gundik selayaknya penjajah bangsa lain, para serdadu
Belanda ini lebih memilih istri jadi-jadian alias guling untuk menemani
tidurnya. Ini dilakukan agar mereka bisa berhemat, sehingga saat "mudik"
tiba mereka bisa membawa uang yang banyak untuk keluarganya. Memiliki gundik
tentu bikin boros, bukan?
Hal tersebut
didukung pula dengan semangat mereka kala itu, yang sedang kental-kentalnya
mempertahankan kemurnian identitas sebagai orang Belanda yang
"adiluhung". Ini untuk membedakan mereka sebagai bangsa dengan kelas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa yang dijajahnya. Memiliki gundik
akan memproduksi keturunan yang "campur"; tidak murni Belanda atau
sudah "terpolusikan" dengan bangsa yang mereka jajah. Mereka anggap
ini "turun kelas" dan berpotensi menggugat status quo mereka sebagai
tuan yang paling berkuasa.
Lucunya,
banyak priyayi-priyayi di Indonesia kala itu ikut-ikutan memiliki dan tidur
dengan "istri Belanda" ini. Kok bisa? Tidak lain dan tidak bukan,
karena mereka ingin "naik kelas" dengan instan. Seinstan memiliki
wajah "Indo" yang bisa langsung dan mudah jadi bintang sinetron di
jaman kekinian. Benar kan? Buktinya layar TV di Indonesia sekarang dipenuhi
wajah-wajah "campur", bila perlu sampai aksen bahasanya dicampur
aduk. Dulu yang "campur" atau "tidak murni" dianggap polusi,
sekarang mereka dianggap prestasi.
Ah, memang
nikmat sekali mengamati Si "istri Belanda" ini. Sebuah inovasi yang
mampu membuat kita berpikir reflektif disaat sensitif alias ngantuk.
Sungguh kreatif para Meneer Belanda kala itu. Dengan menggunakan kapuk empuk
yang dimasukkan dalam kantong kain panjang, lahirlah guling.
Eh
ternyata,"istri Belanda" ini memiliki saudara tua lho. Dia berasal
dari kawasan Asia Timur, yang disebut jukbuin, chikufujin,
atau zhufuren. Dia terbuat dari bambu, sehingga
dinamakan '"istri bambu".
Tak bisa
kubayangkan kalau yang kupeluk setiap malam adalah guling bambu.
Semakin
ngantuk, semakin bangga aku akan inovasi ala Belanda ini. Andai semua lelaki
menghargai inovasi ini tatkala istri tak bisa menemani. Aku yakin poligami
tidak akan menghampiri.
Selamat
tidur!
Referensi:
Siapa
Peluk Istri Belanda. http://historia.co.id/artikel/0/438-siapa-peluk-%E2%80%9Cistri-belanda%E2%80%9D
Foto:
0 comments:
Post a Comment
komen!