Lagi asyik-asyiknya aku berjuang di atas toilet, kamu dengan seenaknya membuka pintu kamar mandi, dan kepalamu menyembul dari balik pintu.
“Kamu diam aja di sini dulu, ada pecalang datang,” katamu sambil berbisik.
Aku terbengong dengan suksesnya. Sialan betul pecalang itu, nggak tahu apa orang lagi bersahabat dengan alam, eh datang nggak tahu waktu. Sayup-sayup terdengar suaramu dan suara seorang laki-laki dari kamar mandi.
“Tiang dari Kesiman Pak, tiang juga harus bayar iuran wajib untuk pembangunan banjar ini?” tanyamu.
“Iya, soalnya ini perintah dari atasan Pak untuk semua pendatang,” suara seorang lelaki menjawab.
“Jadi tiang juga pendatang? Walau asal saya nggak jauh dari sini. Bapak aslinya dari mana?” tanyamu.“Tiang nika dari Karang Asem,” jawab pecalang tersebut.
“Terus yang pendatang itu siapa jadinya, yang punya kost-kostan ini misan tiang, Pak. Tiang tetap sebagai pendatang kalau tinggal di sini? Di tanah Gungkak tiang sendiri,” katamu panjang lebar.
“Tiang cuma menjalankan perintah atasan saja Gung.”
“Jadi kalau Bapak diperintah untuk membunuh sesama nyama Bali, Bapak juga mau melakukan?” imbuhmu.
Cukup seru juga perdebatan konyol itu berlangsung. Tapi gimana nasibku donk? Pantatku sudah mulai dingin dan agak gatal. Kasihan dech gua! Kejadian sore itu membuahkan hasil dengan ditahannya KTP-mu, kamu nggak mempedulikannya karena seminggu lagi akan kadaluarsa. Dan sampai kamu mempunyai KTP barupun, mereka masih menahan KTP lamapun. Dan bahkan sampai detik ini, mereka masih memiliki KTP lamamu.
Lain lagi sikap pecalang terhadap tetangga kamar depan, seorang wanita dan dua anaknya, waktu itu suami ibu tersebut sedang dinas ke luar kota selama beberapa bulan. Dikarenakan ibu dua anak tersebut tidak bekerja, maka kiriman gaji suaminyalah yang menjadi andalan. Berhubung waktu itu uang kiriman berikutnya belum sampai, ibu tersebut ingin sembunyi dari pecalang yang datang, jadi dia dan kedua anaknya diam di dalam kamar, nggak memberi sahutan ketika pecalang mengetuk pintu kamarnya. Malang tak dapat ditolak, dia lupa mengunci pintu. Dengan tanpa rasa bersalah, pecalang tersebut langsung membuka pintu dengan suksesnya dan dia langsung meminta uang iuran wajib. Walaupun ibu itu sudah menjelaskan kondisinya, tetap saja pecalang tersebut meminta dia untuk memenuhi kewajibannya sebagai pendatang. Tanpa rasa malu dan bersalah, pecalang itu menerima uang yang didapat ibu tersebut dari meminjam ke penghuni kost yang lain. Ya ampyun, di mana hati nuranimu wahai kau penjaga adat? Namun beruntung sekali bagi penghuni kost lainnya yang sedang pergi keluar, jadi mereka lolos dari pungutan wajib.
Beberapa bulan telah terlewati, hingga terlupakanlah tragedi sore itu. Namun setiap beberapa bulan, sekelompok laki-laki dengan sarung kotak-kotak hitam-putihnya selalu menyambangi kost-kostan kami. Mereka datang untuk meminta iuran wajib. Iuran keamanan katanya. Dengan kata lain, kalau mau aman ya iuran.
“Aman dari Hongkong!” umpatku dalam hati.
Gimana bisa dibilang aman, beberapa kali terjadi pencurian di kost-kostan kami. Tetangga kamar sebelah ada yang pernah kecurian HP, sedangkan aku sudah 2 kali kehilangan helm dan sering kali kehilangan underwear. Kalau yang terjadi denganku karena karma juga kali ya. Soalnya dulu waktu masih di Jogja, aku sering nyolong helm di kampus. jadi sekarang balasannya, 2 kali kehilangan helm di Bali. Dan parahnya lagi, sebuah warung makan milik keluarga pendatang dari Jawa yang ada di Jalan Akasia juga kerampokan. Kalau sudah begini, dimana letak keamanan yang sudah dibayar oleh pendatang? Yang ada malah rasa was-was dari pecalang yang selalu datang setiap beberapa bulan sekali untuk minta uang iuran wajib keamanan dan maling-maling yang pastinya akan tetap mampir mengamankan barang-barang kami.
Rasa tidak nyaman akibat hadirnya pecalang setiap beberapa bulan, menjadikan kami sebagai penghuni kost-kostan selalu mempunyai akal untuk menghindari keluarnya uang dari dompet untuk iuran wajib keamanan tersebut. Waktu itu, sepulang dari kerja sekitar jam 7 sore. Ketika hampir sampai kost-kostan, aku melihat sekelompok lelaki berpakaian adat lengkap memasuki pintu gerbang. Dan seketika juga aku sadar, kalau mereka pecalang. Langsung saja niatku yang tadinya akan memasuki pintu gerbang, langsung sirna, kupacu motorku menjauhi tempat itu, kemana saja asal tidak berurusan dengan para pecalang-pecalang tersebut. Namun kalau pas otakku sedang ngelantur, aku nggak bakalan sadar kalau mereka pecalang. Langsung saja aku masuki pintu gerbang kost, otak baru mulai curiga dengan Bapak-bapak berpakaian adat, yang ternyata pecalang, sambil menenteng map mereka telah beroperasi dari satu kamar ke kamar lainnya. Untung otakku cukup lihai, kuparkir motor bututku di depan kamar tetangga kostku dan akupun berpura-pura bertamu di sana. Dengan berlagak seperti tamu untuk tetangga kostku, nyari amanlah. Buaya mau dikadalin.
Aku sapa kawan-kawanku yang sedang ngumpul di kamar tersebut,
“Hey Mas, apa kabar? Lagi ngapain nih?” ucapku sambil menahan tawa dan dag-dig-dug jantungku seakan mau loncat.
“Dicari pecalang tuh Ka, gua bilangin ya kalau kamarmu yang nomor 12 A,” ujar salah satu temanku yang ngumpul sambil berbisik dan cekikikan. “Udah lo duduk aja di sini, main PS aja sama kami.”
“Mas Dino mana? Motornya ada di depan kamar, trus kran airnya nyala, tapi pintunya terkunci,” tannyaku pada mereka menanyakan salah seorang tetangga kostku yang lain, yang kebetulan tak terlihat di situ.
“Dia ada di kamarnya, tadi sebelum pecalang datang, dia bilang mau mandi. Paling ngumpet di dalam kamar mandi tuh.”
“Iya ngumpet tapi kran airnya nyala...” imbuh kawanku yang lain.
Tak berapa lama kemudian, pecalang-pecalang tersebut sudah pergi. Yang pastinya menuju sasaran lainnya. Kost-kostan dan rumah-rumah para pendatang di sekitar Jalan Akasia. Mantap sekali mereka, tinggal mengatas namakan pendatang dan keamanan untuk mendapatkan uang guna menggemukkan uang kas banjar mereka. Yang biasanya akan digunakan untuk membeli seperangkat gamelan, merenovasi balai banjar, bahkan membeli sebuah unit mobil untuk kelancaran operasi para pecalang tersebut.
Penghuni kost-kostan kami dari mahasiswa hingga pekerja, dari yang single hingga yang berkeluarga, dari orang Bali asli hingga dari Maluku. Dan tentunya tarif yang berlaku untuk iuaran wajib keamanan juga berbeda-beda. Ona, seorang mahasiswa bilang kalau harus membayar 25ribu rupiah, dan pendatang seperti Mas Dino dan diriku yang bukan mahasiswa lagi dan juga bukan asli Bali harus membayar 50ribu rupiah. Berhubung dia ngumpet di kamar mandi dan aku berpura-pura jadi tamu, kita berdua tidak mengeluarkan uang iuran wajib keamanan tersebut. Dan bagi mereka yang asli Bali harus merelakan uang 10ribunya untuk para pecalang tersebut. Sedangkan untuk 2 orang anggota kepolisian yang juga menjadi penghuni kost-kostan kami, tidak perlu membayar apapun. Soalnya, salah satu pecalang yang beroperasi tersebut adalah anak buah tetangga kostku yang polisi itu.
“Kamu diam aja di sini dulu, ada pecalang datang,” katamu sambil berbisik.
Aku terbengong dengan suksesnya. Sialan betul pecalang itu, nggak tahu apa orang lagi bersahabat dengan alam, eh datang nggak tahu waktu. Sayup-sayup terdengar suaramu dan suara seorang laki-laki dari kamar mandi.
“Tiang dari Kesiman Pak, tiang juga harus bayar iuran wajib untuk pembangunan banjar ini?” tanyamu.
“Iya, soalnya ini perintah dari atasan Pak untuk semua pendatang,” suara seorang lelaki menjawab.
“Jadi tiang juga pendatang? Walau asal saya nggak jauh dari sini. Bapak aslinya dari mana?” tanyamu.“Tiang nika dari Karang Asem,” jawab pecalang tersebut.
“Terus yang pendatang itu siapa jadinya, yang punya kost-kostan ini misan tiang, Pak. Tiang tetap sebagai pendatang kalau tinggal di sini? Di tanah Gungkak tiang sendiri,” katamu panjang lebar.
“Tiang cuma menjalankan perintah atasan saja Gung.”
“Jadi kalau Bapak diperintah untuk membunuh sesama nyama Bali, Bapak juga mau melakukan?” imbuhmu.
Cukup seru juga perdebatan konyol itu berlangsung. Tapi gimana nasibku donk? Pantatku sudah mulai dingin dan agak gatal. Kasihan dech gua! Kejadian sore itu membuahkan hasil dengan ditahannya KTP-mu, kamu nggak mempedulikannya karena seminggu lagi akan kadaluarsa. Dan sampai kamu mempunyai KTP barupun, mereka masih menahan KTP lamapun. Dan bahkan sampai detik ini, mereka masih memiliki KTP lamamu.
Lain lagi sikap pecalang terhadap tetangga kamar depan, seorang wanita dan dua anaknya, waktu itu suami ibu tersebut sedang dinas ke luar kota selama beberapa bulan. Dikarenakan ibu dua anak tersebut tidak bekerja, maka kiriman gaji suaminyalah yang menjadi andalan. Berhubung waktu itu uang kiriman berikutnya belum sampai, ibu tersebut ingin sembunyi dari pecalang yang datang, jadi dia dan kedua anaknya diam di dalam kamar, nggak memberi sahutan ketika pecalang mengetuk pintu kamarnya. Malang tak dapat ditolak, dia lupa mengunci pintu. Dengan tanpa rasa bersalah, pecalang tersebut langsung membuka pintu dengan suksesnya dan dia langsung meminta uang iuran wajib. Walaupun ibu itu sudah menjelaskan kondisinya, tetap saja pecalang tersebut meminta dia untuk memenuhi kewajibannya sebagai pendatang. Tanpa rasa malu dan bersalah, pecalang itu menerima uang yang didapat ibu tersebut dari meminjam ke penghuni kost yang lain. Ya ampyun, di mana hati nuranimu wahai kau penjaga adat? Namun beruntung sekali bagi penghuni kost lainnya yang sedang pergi keluar, jadi mereka lolos dari pungutan wajib.
Beberapa bulan telah terlewati, hingga terlupakanlah tragedi sore itu. Namun setiap beberapa bulan, sekelompok laki-laki dengan sarung kotak-kotak hitam-putihnya selalu menyambangi kost-kostan kami. Mereka datang untuk meminta iuran wajib. Iuran keamanan katanya. Dengan kata lain, kalau mau aman ya iuran.
“Aman dari Hongkong!” umpatku dalam hati.
Gimana bisa dibilang aman, beberapa kali terjadi pencurian di kost-kostan kami. Tetangga kamar sebelah ada yang pernah kecurian HP, sedangkan aku sudah 2 kali kehilangan helm dan sering kali kehilangan underwear. Kalau yang terjadi denganku karena karma juga kali ya. Soalnya dulu waktu masih di Jogja, aku sering nyolong helm di kampus. jadi sekarang balasannya, 2 kali kehilangan helm di Bali. Dan parahnya lagi, sebuah warung makan milik keluarga pendatang dari Jawa yang ada di Jalan Akasia juga kerampokan. Kalau sudah begini, dimana letak keamanan yang sudah dibayar oleh pendatang? Yang ada malah rasa was-was dari pecalang yang selalu datang setiap beberapa bulan sekali untuk minta uang iuran wajib keamanan dan maling-maling yang pastinya akan tetap mampir mengamankan barang-barang kami.
Rasa tidak nyaman akibat hadirnya pecalang setiap beberapa bulan, menjadikan kami sebagai penghuni kost-kostan selalu mempunyai akal untuk menghindari keluarnya uang dari dompet untuk iuran wajib keamanan tersebut. Waktu itu, sepulang dari kerja sekitar jam 7 sore. Ketika hampir sampai kost-kostan, aku melihat sekelompok lelaki berpakaian adat lengkap memasuki pintu gerbang. Dan seketika juga aku sadar, kalau mereka pecalang. Langsung saja niatku yang tadinya akan memasuki pintu gerbang, langsung sirna, kupacu motorku menjauhi tempat itu, kemana saja asal tidak berurusan dengan para pecalang-pecalang tersebut. Namun kalau pas otakku sedang ngelantur, aku nggak bakalan sadar kalau mereka pecalang. Langsung saja aku masuki pintu gerbang kost, otak baru mulai curiga dengan Bapak-bapak berpakaian adat, yang ternyata pecalang, sambil menenteng map mereka telah beroperasi dari satu kamar ke kamar lainnya. Untung otakku cukup lihai, kuparkir motor bututku di depan kamar tetangga kostku dan akupun berpura-pura bertamu di sana. Dengan berlagak seperti tamu untuk tetangga kostku, nyari amanlah. Buaya mau dikadalin.
Aku sapa kawan-kawanku yang sedang ngumpul di kamar tersebut,
“Hey Mas, apa kabar? Lagi ngapain nih?” ucapku sambil menahan tawa dan dag-dig-dug jantungku seakan mau loncat.
“Dicari pecalang tuh Ka, gua bilangin ya kalau kamarmu yang nomor 12 A,” ujar salah satu temanku yang ngumpul sambil berbisik dan cekikikan. “Udah lo duduk aja di sini, main PS aja sama kami.”
“Mas Dino mana? Motornya ada di depan kamar, trus kran airnya nyala, tapi pintunya terkunci,” tannyaku pada mereka menanyakan salah seorang tetangga kostku yang lain, yang kebetulan tak terlihat di situ.
“Dia ada di kamarnya, tadi sebelum pecalang datang, dia bilang mau mandi. Paling ngumpet di dalam kamar mandi tuh.”
“Iya ngumpet tapi kran airnya nyala...” imbuh kawanku yang lain.
Tak berapa lama kemudian, pecalang-pecalang tersebut sudah pergi. Yang pastinya menuju sasaran lainnya. Kost-kostan dan rumah-rumah para pendatang di sekitar Jalan Akasia. Mantap sekali mereka, tinggal mengatas namakan pendatang dan keamanan untuk mendapatkan uang guna menggemukkan uang kas banjar mereka. Yang biasanya akan digunakan untuk membeli seperangkat gamelan, merenovasi balai banjar, bahkan membeli sebuah unit mobil untuk kelancaran operasi para pecalang tersebut.
Penghuni kost-kostan kami dari mahasiswa hingga pekerja, dari yang single hingga yang berkeluarga, dari orang Bali asli hingga dari Maluku. Dan tentunya tarif yang berlaku untuk iuaran wajib keamanan juga berbeda-beda. Ona, seorang mahasiswa bilang kalau harus membayar 25ribu rupiah, dan pendatang seperti Mas Dino dan diriku yang bukan mahasiswa lagi dan juga bukan asli Bali harus membayar 50ribu rupiah. Berhubung dia ngumpet di kamar mandi dan aku berpura-pura jadi tamu, kita berdua tidak mengeluarkan uang iuran wajib keamanan tersebut. Dan bagi mereka yang asli Bali harus merelakan uang 10ribunya untuk para pecalang tersebut. Sedangkan untuk 2 orang anggota kepolisian yang juga menjadi penghuni kost-kostan kami, tidak perlu membayar apapun. Soalnya, salah satu pecalang yang beroperasi tersebut adalah anak buah tetangga kostku yang polisi itu.
Kejadian yang sama menimpa kami , di bulan July 2013 di sekitar Jl Tukad Pakerisan , Banjar Antap, Panjer Denpasar, Kost kami kost Putri yang cukup ketat tapi di gedor juga dengan kasar. Tujuan razia KTP , tapi pada dasarnya adalah PEMALAKAN BERKEDOK ADAT. toch kalau ada kejadian apapun kami telpon polisi atau tentara, atapun pemadam kebakaran, bukan mereka. Sebenarnya keberadaan mereka hanya tameng dari Banjar Adat setempat yang nggak ada sedikutpun gunanya buat kami. Tapi ada kah caranya selain ngumpet dan lari ? Sampai kapan ini terjadi? Ketika belum otonomi daerah tidak pernah ada kejadian seperti ini, dan bahkan setelah bom Bali pun tidak pernah ada. Sebagai orang Bali ber-KTP Bali , sungguh memalukan!! ADAT dipakai KEDOK PREMANISME dan PEMALAKAN!!, Lapor Polisi??? Kalau tidak punya teman apa bisa dibantu? Apalagi pelayanan POLISI di Bali sangat buruk dibandingkan kota lain, contoh di jalan raya besar banyak yang pngga pakai helm dan sambil ber-HP an,.. tetap tidak ada tindakan. Satu satunya harapan kami adalah kepada bung Wartawan,.. wartawan mana yang bisa bantu blow up masalah ini??? Atau teman teman pembaca or blogger bisa bantu agar menjadi pelajaran buat banjar adat.
ReplyDeleteBener banget!!! Walaupun sekarang saya sudah punya KTP Bali, gara2 pengalaman-pengalaman sebelumnya, gimana mereka yang arogan dan bentak-bentak nunjukin power.
DeleteDan karena kalo jam 6 - 7 petang banyak penghuni kost-kostan yang keluar makan, sekarang para pecalang itu bertandangnya selepas jam 9 malam. Sopan banget ya?