2008-06-04

luka itu

Bulan enggan muncul, kegelapan semakin menggigil. Nyanyian malam terasa seperti koor lagu sumbang. Jarum pendek pada jam yang menempel di dinding kamarku menunjuk lamban ke angka 12. Kembali aku pejamkan kelopak mataku, dan kembali pula kelopak bangsat ini menggelepar untuk memperlihatkan bola-bolanya. Sekelebat wajah terlintas, tak terasa mataku basah dan aliran hangat merambati pipiku. Dulu, waktu kita belum menjadi aku dan kamu, ketika aku nggak bisa tidur, kamu selalu memeluk aku sampai terlelap. Padahal seharusnya yang ada didekapan itu adalah kekasihmu yang waktu itu entah dimana, persetan dengan itu, selama aku lelap dalam pelukmu.
Jelek, bawel, tukang pukul, ato apalah nama yang sering ku teriakkan kalo aku sebel kekamu.Kamu sering ngeledekin aku, karena aku masih perawan. Yach, masih asli perawan ting ting, belum pernah “begituan”, tapi sok tau banget.
Jarum jam sudah bergeser pada angka tiga, suara ayam sudah berkumandang. Dingin semakin dan semakin nakal, kutoleh jendela disebelahku yang masih terbuka dengan vulgarnya. Ku ambil sebatang rokok dari bungkus lusuhnya yang tergeletak dilantai. Kunyalakan hingga ujungnya menganga, kuhisap dalam, dan kurasakan beribu racun mengalir menerjang semua organ tubuhku. Kehembuskan gumpalan putih dari mulutku, dan menyebar kesudut-sudut kehampaan.
“Lek, aku nggak bisa tidur,” kataku sambil membangunkanmu dari tidur lelapmu. Waktu itu.
“Apaan? Belum tidur juga? sini aku nyanyiin,” dan ketika itu kamu menyanyikan lagu nina bobo dengan cemprengnya, sambil menepuk-nepuk pantatku dengan kasar pula, dan juga dengan kengantukanmu.
“Kok jelek banget sich, orang mati aja bangun Lek,” kataku geli.
“Aku ngantuk banget Dul,” katamu setengah terpejam. “O... itu aja, aku ada simpenan, pake aja...”
“Dimana?” tanyaku.
“Di kotak biasanya.”
Hubungan persahabatan yang aneh, dan gila. Itu kata orang-orang yang tau kita, tapi kita sangat menikmati itu semua.
Aku hisap racun-racun itu, sambil melirik waktu yang lambat bergulir. Sekarang kamu pasti sudah terlelap, atau malah kembali seperti dulu nggak bisa tidur, dan nongkrong didepan komputer teman pondokanmu untuk nulis hal-hal konyol.
Sekarang, nggak ada kamu Lek. Aku kembali sendiri lagi. Waktu itu aku baru aja putus dengan pacarku. Aku nangis ke kamu, dan sekarang Lek... aku juga sedang sakit. Aku sedang terluka, aku butuh kamu Lek... nemenin aku, dan meluk aku. Aku pengen menuju lelap dipelukanmu.
Lek... aku kehilangan orang yang aku sayangi. Kehilangan sekali. Lek, aku dikhianati orang yang juga bilang sayang keaku, kenyataannya dia lebih seneng untuk nyakitin aku daripada ngebuktiin kata sayangnya itu. Aku sendiri nggak ngerti, sekarang ini aku kayak apa, aku nggak cuma terluka, bahkan bisa dibilang hancur. Aku sendiripun sampai nggak mampu untuk menyatukan serpihan kehancuran itu. Serpihan-serpihan yang sekarang entah beterbangan kemana, aku nggak tau. Perasaanku sudah habis Lek, nggak ada yang tersisa bahkan untuk diriku sendiripun nggak ada.
Kuletakkan puntung rokokku diasbak, dan kunyalakan lagi sebatang. Kembali kunikmati racun yang mengalir melalui tenggorokkan. Waktu terasa lambat berjalan, bunyi waktu berdetak kencang, seperti ingin memecah keheningan malam. Mataku tetap melotot, nggak mau kompak diajak kedunia mimpi.
Lek... dia pernah menerbangkanku ke sebuah keindahan, membuaiku dengan mimpi, dan juga memelukku dengan kemesraan. Namun,sekarang dia menjatuhkanku ke kehampaan yang aku nggak tau sampai kapan aku bisa menggapai sebuah keindahan itu lagi.
Kembali aliran hangat merambati pipiku, kunikmati pedih yang selalu bertengger dengan angkuhnya. Aku menggigil dalam luka, sakit sekali mengenang semuanya.
Lek... memang semua kesalahanku, setiap aku renungi semuanya, yang terlihat selalu kesalahanku. Tapi, setelah aku pikir ulang, apakah dengan nyanyangin dia itu sebuah kesalahan? Pertanyaan konyol yang setia menemaniku. I wish I could turn back the time... untuk nggak jatuh sayang kedia, dan aku nggak bakalan terluka dengan segala yang ada di dia, aku bakalan bisa ngilangin luka ini.
Lek... aku menyanyangi angin, sesuatu yang nggak bakalan bisa diraih oleh siapapun. Sebuah angin... dengan kelembutannya, sesuka hati bisa membuai dan tanpa segan langsung memporandakan apapun.
Kegelapan baru saja melarikan diri, sang maha terang menggantikan singgasananya. Sinar tuan matahari mengintip melalui tirai jendela yang tertutup separo. Ngantuk mulai meyerangku, ketika waktu didinding pada angka tujuh.
Dalam hati kupanjatkan asa, bermimpi ketemu pangeran, mengecupku dan membangunkanku dari mimpi burukku.




1 comment:

komen!