2009-10-08

Tidak makan karena...

Bagi mereka yang merasa berat badannya berlebih, ya untuk mengurangi berat badannya.
“Dengan hanya makan buah dan sayur setiap harinya selama sebulan, berat badanku sudah turun lima kilo lho.” Ujar salah seorang teman dengan bangganya.

Namun apa kata mereka para aktivis?
“Kita mogok makan, sampai sang penguasa memenuhi tuntutan kami. Kasian rakyat kecil dong, kalau terus menerus jadi kalah-kalahan.” Kata salah seorang teman aktivis yang ikut memperjuangkan nasib rakyat yang terus menerus mengalami penggusuran.

Nah, kalau anak-anak? Amat sangat tidak mungkin kan kalau mereka sedang menjaga berat badannya atau mogok makan karena protes?
Kurang lebih hampir 18 tahun silam, ketika adikku berumur 6-7 tahun Ibuku dipusingkan dengan adikku yang sangat susah sekali untuk makan. Segala macam cara sudah ibuku lakukan agar si adik mau membuka mulutnya untuk makan. Dari memberinya vitamin penambah nafsu makan, jamu-jamuan, hingga membawanya ke dokter anak. Namun tetap saja susah sekali untuk membuatnya mau makan.
Dan lucunya, hal-hal tak terduga yang adikku lakukan sering kami pergoki. Suatu pagi ketika kami sekeluarga akan pergi, semua bingung mencari adikku. Dan ternyata dia sedang jongkok di samping dandang bekas menanak nasi yang sudah direndam air di tempat cucian piring. Adikku dengan lahapnya mengambil butir-butir nasi yang sudah terendam air tersebut. Secara spontan, ibuku menggendong adikku dan memberinya sepiring nasi. Namun, adikku malah nangis. Dan kembali menutup mulutnya rapat-rapat ketika sesuap nasi menghampiri mulutnya.
Atau kejadian menggelikan lainnya, ketika ibuku mencoba menyuapinya dengan telur rebus, adikku justru memunguti kulit-kulit telur dan mengunyahnya dengan asyik seperti krupuk.
Hingga sampai pada saat ibuku hampir putus asa, dan mengucapkan, “Kowe ki njaluk opo to nduk? Opo tak paringi kembang ro menyan wae?” (Kamu tuh minta apa nak? Apa saya kasih bunga dan kemenyan?)
Dan sejak saat itu, tiap kali ada yang nanya,
“Lisa sukanya makan apa?”
Dengan jenakanya, adikku akan menjawab, “Kembang dan menyan.”

Lain halnya dengan kondisi yang terjadi pada bulan Ramadhan. Mereka pemeluk agama Islam, memang diwajibkan untuk tidak makan dan minum sehari penuh, dari subuh menjelang hingga bedug magrib selama 30 hari. Namun ketika bedug buka berkumandang, berlomba-lombalah mereka untuk menyantap berbagai macam makanan yang sudah di beli dari beberapa jam sebelumnya dari pasar kaget, yang tentunya menyediakan ribuan jenis jajanan yang hanya bida ditemui ketika Ramadhan.

Berbeda lagi dengan embah putri saya. Setiap Senin dan Kamis, beliau hanya mengkonsumsi nasi putih dan air putih saja. Kotak sirih dan pinangnya pun hanya tergeletak lesu di pojok dapur. Padahal sehari-harinya beliau tidak pernah lepas memeluk kotak tersebut, serta di sudut mulutnya tersumbat segumpal tembakau. Dan sekali-kali diludahkannya cairan merah kedalam kaleng kumuh yang juga selalu ditentengnya kesana kemari. Beliau bilang kalau setiap Senin dan Kamis, dia mempunyai ritual untuk puasa mutih. Mutih merupakan bahasa Jawa yang artinya memutih, dari kata putih, melakukan hal putih. Dan nasi dan airputih yang tentunya berwarna putih tersebutlah yang beliau konsumsi.

Bagaimana dengan banyak dari penduduk Indonesia yang tidak makan, atau paling tidak hanya sekali dalam sehari. Mereka tentunya kelaparan. Karena? Seperti yang dialami saudara kita di tanah Papua. Tanah tak lagi mampu menghasilkan umbi yang gemuk, sehingga panen gagal. Sedangkan kebutuhan semakin banyak seiring dengan harga yang melangit. Duit tak lagi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apa yang harus mereka makan, selain umbi-umbi sebesar kelingking dan sayuran yang tak lagi segar.

Ingat tidak dengan kalimat yang diucapkan oleh rakyat miskin dan pejabat korup?
Rakyat miskin: Besok saya makan apa ya?
Pejabat korup: Besok siapa yang akan aku makan ya?

Nah kalau kalimat yang sering kuucapkan,
“Beib, aku nggak mau makan kue itu. Aku cuma pengen makan kamu.” Kerlingku nakal sambil tersenyum manja ke arahmu.




0 comments:

Post a Comment

komen!