2010-09-29

That's my Mom

Seperti kata pepatah, rumput tetangga jauh lebih hijau dibanding dengan rumput di halaman rumah sendiri. Saya sangat setuju dengan pepatah itu. Menurut saya, rumput tetangga memang jauh lebih hijau karena kita melihatnya dari luar. Sedangkan kita tidak bisa tahu bagaimana keadaan rumput di halaman rumah kita sendiri karena kita ada di dalamnya. Coba sejenak kita keluar dari pekarangan rumah kita dan berpalinglah ke halaman rumah kita. Pasti punya kita yang akan kelihatan lebih indah dibanding dengan rumput di halaman tetangga. Intinya, segala sesuatu itu akan tampak lebih indah dan jelas ketika kita menggunakan banyak perspektif dari luar diri kita dalam menilainya. Seperti juga gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, namun kuman di ujung lautan terlihat jelas. Bagaimana kita bisa melihat dengan jelas, kalau gajah yang sebesar itu benar-benar tepat di depan mata kita? Alih-alih, hanya warna hitam menghalangi pandangan kita. Tentunya kita butuh jarak tertentu untuk melihat gajah tersebut dengan jelas, bukan?

Seperti itulah yang saya rasakan terhadap Ibu saya. Ketika dulu masih serumah dengan Ibu, tidak ada hal spesial yang bisa saya lihat dari beliau. Ibuku hanya seorang wanita yang berprofesi sebagai Ibu rumah tangga dan juga seorang bidan. Ibu tidak pandai memasak, sedangkan Bapak saya jago memasak. Namun karena Bapak saya patriarki sekali, beliau jarang sekali mau memasak. Masakan Ibu yang terhidang hampir selalu hambar dan itu-itu saja. Apalagi bikin kue dan jajan macam-macam, jangan harap. Usut punya usut, ternyata Ibu bisa masak karena diajari Bapak. Bapak sering bilang,

“Orang Ibumu dulu itu, goreng telur aja ndak bisa kok. Sekarang sudah lumayan, nduk.”

Namun setelah bertahun-tahun saya merantau dan menjadi anak kos yang tentu saja makan sekedarnya, sering kali merasa kangen dengan masakan Ibu di rumah. Terlebih ketika sakit. Duh! Duh! Duh! Merana sekali rasanya dirantau. Dan selain itu, saya sering teringat akan Ibu dan menyadari, ternyata Ibu adalah sosok wanita yang luar biasa. Wanita paling perkasa yang pernah aku temui.

Walaupun telah pensiun, Ibu tetap super sibuk memberikan pelatihan bagi bidan-bidan baru di RSU Jepara. Berangkat subuh pulang malam, tiap hari selama berminggu-minggu dalm beberapa bulan sekali. Terkadang Ibupun masih mendapat panggilan untuk membantu proses melahirkan. Ibu sering merasa bangga dengan bilang pada saya,

“Diantara ratusan bidan baru, Ibu masih juga dipakai orang-orang, nduk.”

Namun Ibu juga sering bilang kalau dirinya sudah tidak sekuat dulu dalam membantu proses melahirkan sendiri, setidaknya Ibu selalu ditemani seorang bidan desa.

Ah, ternyata tanpa kusadari Ibuku sudah hampir 60 tahun, walaupun uban dirambutnya masih bisa dihitung, salah satu kebanggaan pribadinya karena sering dikira kalau Ibu mengecat rambutnya. Ibu tetap mengendarai sepeda motornya, walaupun SIM-nya sudah lama mati, selalu dengan alasan kalau sudah tua untuk tidak memperpanjang SIM-nya dan juga bisa lewat jalan kampung yang tidak ada polisinya.

Ibu juga seperti perempuan kebanyakan, sibuk memakai krim anti kerut pada wajah, Ibu hanya memulaskan bedak dan lipstik ketika berdandan. Tidak ada warna pink keunguan pada kelopak mata atau tulang pipi yang bersemu merah. Ibu terobsessi dengan berat badan, berat badannya sendiri tidak pernah melewati angka 50 kg. Tiap kali kami pulang kerumah, Ibu selalu mengomel tak henti-henti ketika menyadari bahwa anak-anak perempuannya kelihatan menggelembung montok. Dalam hal ini Ibu agak beda dengan perempuan lainnya, ketika para ibu senang melihat anak-anaknya gemuk, tidak demikian dengan Ibu kami. Ibu juga sering mngingatkan kami untuk tidak memakai krim pemutih, jangan lupa memakai sunblok kalau keluar rumah dan berhenti merokok. Dan khusus kepada saya,

“Cepatlah menikah nduk, Ibu sudah kebelet nggendong cucu dan juga ingat Bapakmu sudah begitu kesehatannya.” 
DUH!!!!    

0 comments:

Post a Comment

komen!