Konon, Candidasa merupakan salah satu kawasan wisata yang gemilang. Masih terasa kesan-kesan kegemilangannya hingga sekarang, dengan banyaknya hotel dan villa dengan kelas yang beraneka di sepanjang pantai dan juga berbagai restauran yang menyajikan masakan Indonesia dan Internasional.
Beberapa kali terdengar selentingan dari sekitar, kalau banyak travel agent tidak merekomendasikan tamu-tamu mereka untuk menginap di Candidasa. Jadi travel agent hanya memberikan tour ke tempat-tempat wisata didaerah Karangasem dan sekitarnya dan menginapnya tetap didaerah Kuta. No wonder, Candidasa hanya sebagai tempat persinggahan untuk makan siang atau afternoon coffee/tea. Dan sebagai imbasnya, banyak hotel yang tidak mempunyai tamu satupun :(
Melihat keadaannya sekarang ini, tak dapat kubayangkan bahwa Candidasa duapuluh tahun yang lalu merupakan salah satu daerah wisata pantai yang ramai dan juga memiliki kehidupan malamn yang cukup seru. Namun jangan bandingkan dengan Kuta, karena tentu saja berbeda. Pada saat itu, Candidasa dan Ubud hampir mirip kehidupan malamnya, sama-sama tidak seliar Kuta, lebih light lah istilahnya. Walaupun Ubud merupakan daerah pegunungan dan Candidasa pesisir.
Sepinya pengunjung ke Candidasa terlihat dengan jelas ketika kita bisa melihat para pegawai hotel lebih sibuk mejejahitan (membuat perlengkapan sesaji) dan mencari kutu rambut di loby-loby hotel, serta lengangnya jalanan dari hilir mudik wisatawan yang biasanya berjalan kaki. Dan tentu saja dengan mudahnya kita bisa mendapatkan harga yang sangat murah untuk menginap pada salah satu hotel di sana.
Terlebih lagi ketika malam hari, banyak retauran yang sepi. Dan saking sepinya beberapa diantaranya tutup. Live music pun hanya bisa ditemukan pada sebuah restaurant saja, dan itupun hanya seorang penyanyi dengan iringan gitar akustik. Seorang penyanyi yang berdandan ala Jerinx SID, berkaos ketat, celana selutut dengan kaos kaki tinggi putihnya. Sangat kontras dengan lagu-lagu yang dibawakan, lagu-lagu cengeng tahun sembilanpuluhan.
Aaaaaaaaah...
Si outsider ternyata seeorang penyanyi cafe :)
Malam itu, kami sengaja berjalan menyusuri jalanan di Candidasa. Kami berhenti sejenak didepan sebuah restaurant, yup sebuah restaurant dengan beberapa meja saja yang terisi. Bangunannya biasa saja, namun satu hal yang membuat kami tertarik, yaitu ada konser genjekan yang sedang berlangsung. Sempat heran juga kami dibuatnya.
“Genjek di restaurant instead of a band?” boleh juga pikir kami.
Dan kami putuskan untuk masuk ke dalam. Usut punya usut, ternyata sedang ada perayaan kepemilikan baru atas restaurant tersebut. Dan kelompok genjek tersebut juga berasal dari masyarakat sekitar.
FYI, kalau kelompok genjek terdasyat di Bali ya dari Karangasem. The best arak dan tuak di Bali juga dari Karangasem. Sedangkan Genjek dan tuak atau arak tak dapat dipisahkan. No wonder, the best genjekan juga dari Karangasem :)
FYI, kalau kelompok genjek terdasyat di Bali ya dari Karangasem. The best arak dan tuak di Bali juga dari Karangasem. Sedangkan Genjek dan tuak atau arak tak dapat dipisahkan. No wonder, the best genjekan juga dari Karangasem :)
Lagi-lagi hal tak terduga kami alami di Candidasa. Makan malam dengan diiringi genjekan. Waaaaaaaaaah... Orang Bali sendiri aja bisa terheran-heran dengan hal ini, apalagi saya...
Nak Jawa tiyang nika :) Ya jelas super terheran-heran.
Nak Jawa tiyang nika :) Ya jelas super terheran-heran.
Pernah dengar kan kalau sembilanpuluh persen pemilik sektor pariwisata Bali merupakan mereka pemilik uang dari luar Bali? Kalau tidak tahu, silahkan cari tahu dulu deh :) Soalnya bakalan panjang banget kalau dituliskan.
Masih ingat dengan hotel Natia, hotel di Candidasa yang kami tempati itu. Pemiliknya ternyata orang Semarang. Wediiian tenan, wong Semarang kok ya sempet-sempetnya bikin hotel di Candidasa. Trus beberapa hotel yang kami sambangi sebelum akhirnya memutuskan untuk nginap di Hotel Natia, pemiliknya juga bukan orang Bali. Dan juga pemilik dari restauran yang ada genjek itu, tadinya orang Jawa, trus dibeli oleh orang New Zealand. Oaaalaaah Gusti... Lebih jauh lagi yang njajah...
Lah iki wong Baline piye? Orang Bali sendiri ya, yang kerja di hotel-hotel dan restauran-restauran itu tadi, jadi pramusaji, housekeeping, receptionis, dan cleaning service. Miris ya kalau lihat kenyataan kayak gitu. Trus pertanyaan lagi, "Apa dong yang orang Bali miliki?" Yo mbuh yooo... Tanyakan saja pada debur ombak di pantai.
Lah iki wong Baline piye? Orang Bali sendiri ya, yang kerja di hotel-hotel dan restauran-restauran itu tadi, jadi pramusaji, housekeeping, receptionis, dan cleaning service. Miris ya kalau lihat kenyataan kayak gitu. Trus pertanyaan lagi, "Apa dong yang orang Bali miliki?" Yo mbuh yooo... Tanyakan saja pada debur ombak di pantai.
Eeeit...
Jangan meratapi nasib orang Bali dulu... Ikuti dulu cerita ini sampai selesai. Baru meratap...
Suasana sepi Candidasa mampu menina-bobokan kami sekitar pukul sebelas malam. Biasanya kan tidur ya selepas tengah malam. Nyenyak betul tidur kami semalaman, dan tak terasa hampir tengah hari kami baru bangun. Untung masih boleh sarapan tuh, kan lumayan buat ngeganjal perut. Sambil nunggu breakfast di restauran hotel yang letaknya di tepi pantai, seorang lelaki menghampiri kami. Seperti biasa, kalau bukan tukang pijit pasti tukang perahu yang menawarkan jasanya. Nah kali ini si Bapak tersebut adalah tukang perahu, ngobrollah kami ngalor ngidul.
Oyaaa...
Akhirnya terjawab juga pertanyaan, “Apa dong yang dimiliki orang Bali?” Yo perahu itu. Bapak tersebut asli penduduk sana, memiliki perahu kecil yang disewakan pada wisatawan.
Terungkaplah sebuah cerita akan keganasan si pemodal besar di antara para pengusaha penyewaan perahu. Mulai dari semakin susahnya jalan akses ke pantai, karena hampir sepanjang pantai sudah ketutup dengan hotel dan villa, hingga terserobotnya mata pencaharian perahu kecil olah perahu besar.
Banyaknya perkumpulan kelompok penyewa perahu tak lagi berperan dalam mengatur kekisruhan anggota-anggotanya. Kesepakatan yang dibuat tak lagi berlaku. Terdapat dua jenis perahu yang beroperasi di pantai Candidasa, kedua jenis perahu tersebut hanya boleh beroperasi sekali dalam sehari kalau sepi. Perahu kecil yang hanya bisa memuat tiga orang, beroperasi mengantarkan wisatawan disekitar pantai untuk diving dan snorkling. Sedangkan perahu besar, hanya diperbolehkan mengantarkan wisatawan ke seberang yaitu ke Nusa Penida atau Nusa Lembongan.
Namun, perahu kecil mulai tergeser posisinya semakin kepinggir pantai dan jarang sekali berlayar. Si perahu besar mengambil alih semua trayek, bahkan lebih dari sekali dalam sehari mengantarkan wisatawan. Dengan alasan atas permintaan dari wisatawan sendiri, bahwa mereka ingin bersnorkling ataupun berdiving ria disekitaran pantai Candidasa dengan perahu besar, karena bisa menampung penumpang lebih dari tiga orang. Perkumpulan penyewa perahu tidak melakukan usaha dalam mengatasi masalah ini. Yo wis, makin meranalah nasib perahu kecil.
Si lemah berperahu kecil semakin mengkerut dalam senyapnya pariwisata Candidasa. Sedangkan kebutuhan di rumah semakin membengkak. Kendil harus tetap terisi, uang SPP anak-anak harus tepat waktu, dan iuran banjar mengetuk pintu rumah sewaktu-waktu menagih iuran untuk upacara bersih desa.
Kemana mereka harus mengadu? Pada pemimpinmu di dewan?
Emangnya didengerin? Pemimpin yang kita pilih pada pemilu lalu sedang sibuk. Sibuk jual tanah-tanah disekeliling Bali yang harganya makin hari makin melangit dan menghitung proyek mana yang untungnya paling besar. Karena pemimpin tersebut juga mempunyai keluarga yang kebutuhannya tidak sedikit pula. Si Istri yang butuh sokongan finansial untuk lembaga sosial abal-abalnya, anak-anak mereka pengen mobil baru, dan si pemimpin sendiri yang harus menutupi kebusukan-kebusukan demi kekuasaan yang digenggamnya. Mana sempet beliau mendengarkan keluh kesah rakyatnya? Apalagi kasih solusi...
Kasian deh kita...
But that’s life, honey...
0 comments:
Post a Comment
komen!